B. Indonesia

Pertanyaan

Alur cerita wangi kaki ibu

2 Jawaban

  • KETIKA bibir dan hidungnya menyentuh punggung kaki yang cokelat keriput itu, ia merasakan air matanya menetes. Membasahi permukaan kulit yang kisut. Terguling dari tonjolan otot menuju lingir telapak kaki, sebagian ke sela jemari.

    “Aku tahu, bukan kamu yang membunuhnya,” bisik serak seorang perempuan tua, yang kedua mata kaki kanan dan kirinya sedang ia dekap.

    Entah siapa yang memberi kabar indah itu ke telinga yang mungkin tak sepenuhnya berfungsi. Atau ada yang langsung membisikkan ke ceruk hatinya? Membuat lelaki itu teringat perjalanan yang sesungguhnya tak panjang, namun dirasakan sangat berlarut-larut. Semata oleh pikiran yang kalang-kabut.



    SUBUH retak melahirkan fajar. Takbir menggema di telinga, dari pelbagai surau, yang terletak jauh maupun dekat. Dipantulkan oleh bening embun. Membubung ke awan-gemawan yang parasnya sedang dipulas rona lembayung. Angin reda, membuat pohonan yang belum menjelaskan warna daunnya terdiam tunduk, seperti sabar menanti perintah berikutnya. Di dalam rongga dadanya yang kurus, tampak dari kemejanya yang terasa demikian longgar, ada sebersit ngilu berdesir.

    Ia baru saja meninggalkan Stasiun Tugu. Dengan langkah bimbang, tak ubahnya selembar daun kering yang terseret angin, ia merasa harus mengenali kembali setiap ruang dan benda yang dilalui. Toko-toko yang berderet memanjang ke Malioboro masih menutup pintu. Atau mungkin hari ini tak akan membuka dagangan, karena tiba Lebaran. Jalan aspal yang memiliki beberapa lubang akibat genangan air, tak berbeda dari kota yang ia tinggalkan. Trotoar dengan warna paving-block yang tak sama antara satu dengan yang lain, tentu lantaran pernah terbongkar di sana-sini. Dan yang terhirup ke dalam paru-parunya adalah udara yang menebarkan aroma tersendiri: sisa malam yang tersangkut dan terlambat sirna.

    Ini wajah kota kelahiran, yang pernah memberikan keindahan masa kanak-kanak. Ketika Janti masih berupa jalan tanah berbatu. Ketika Hotel Ambarukmo berdiri paling megah dan bergaya di Jalan Solo. Dan Demangan merupakan pusat jajan dengan bakso, es buah, sate, dan limun berwarna-warni. Lalu ia, dulu sekali, mengendarai sepeda ringkih, selalu menghabiskan hari-hari Ramadan dengan menyewa komik atau membacanya di kios persewaan itu sambil menunggu magrib. Terbayang dalam kenangan: Barda Mandrawata sebagai Si Buta dari Gua Hantu. Pendekar Bambu Kuning. Gundala Putera Petir karya Hasmi dari kota ini. Peni sudah Mati. Ah, Peni! Itu tokoh utama dalam komik roman karya Jan Mintaraga. Tokoh yang sesungguhnya telah mati. Dan seorang perempuan lain telah menyamar sebagai Peni, seolah-olahmasih hidup, tak berdaya di atas kursi roda, namun sanggup membongkar kematian Peni yang dilatari ketamakan atas harta warisan….

    Dan Peni, seseorang yang seharusnya sangat dicintai, kini juga telah mati. Sejenak jemari tangan kanannya bergetar bagai diserang tremor. Ia menggigil bukan oleh dingin pagi yang mengusap dada kerempengnya. Tapi oleh ingatan yang membuatnya harus pulang ke kota kelahiran.

    Matanya memandang ke segala arah. Ia mencari becak. Ada beberapa becak teronggok di ruas jalur lambat Jalan Pangeran Mangkubumi, tapi pemiliknya masih meringkuk dengan sarung lusuh. Ah, apakah mereka tak mendengar suara takbir dari pengeras suara masjiddi sana-sini? Ini hari Lebaran. Seharusnya mereka berkumpul dengan istri dan anak di rumah sumpek masing-masing. Atau jika masih bujangan, boleh juga sesekali bergadang di surau demi hari yang istimewa ini. Tapi, kadang-kadang, Lebaran memang memberikan ironi kepada sejumlah orang. Ketika seharusnya sebuah hati digenangi kebahagiaan, ada sebagian yang mendapati dirinya tenggelam dalam duka paling dalam. Dia, barangkali, menjadi salah seorang di antara mereka.
  • Alur Maju.Maaf kalo salah

Pertanyaan Lainnya